APTRI Dalam Foto

APTRI Dalam Foto

Sejarah Pergulaan Indonesia

APTR Wadah Perjuangan
“Interupsi Bapak Presiden, kami sangat kecewa. Kami petani tebu sudah sangat terpuruk, kenapa justru tidak memberi semangat kepada kami?. Beliau (Gus Dur) o­rang yang saya hormati. Tapi mungkin saya sudah panik, datang ke munas dengan harapan menemui solusi bagi petani tebu, malah disuruh tanam bambu.
Itulah kata-kata interupsi saya kepada Presiden Gus Dur ketika memberi sambutan pada munas petani tebu di Solo tahun 2000 silam. Saya tidak mengerti kenapa saya bisa senekat itu dengan menginterupsi pidato Presiden dalam forum munas. Mungkin saya sudah panik, ketika datang ke munas dengan harapan menemui solusi bagi petani tebu, tapi malah disuruh tanam bambu. Padahal, Gus Dur o­rang yang saya hormati”.
(Arum Sabil, 2000)
TRUK ukuran besar yang sedang melaju kencang di jalan tol itu berhenti sangat mendadak. Terdengar bunyi berderit keras dari gesekan kampas rem bersama gesekan karet ban dan aspal. Lalu... brak! Tabrakan tak terhindarkan. Peristiwa ini terjadi di jalan Tol Surabaya-Sidoarjo. Lalu lintas sesungguhnya tidak padat. Tetapi, mobil Isuzu Panther yang berjalan dengan kecepatan tinggi, berjarak tak sampai sepuluh meter di belakang truk tadi, tak bisa mengelak.
Panther menabrak bak truk. Tutup mesin Panther hijau itu langsung melesak ringsek. Tetapi penumpangnya, Muhammad Arum Sabil yang sedang tidur lelap di baris bangku tengah tak sampai cedera, cuma sopir yang lecet-lecet kena serpihan kaca.
Sementara sopir truk itu melarikan diri begitu saja. Tidak ada identitas atau nomor polisi pada truk yang bisa dicatat. Pada saat sedang tertegun oleh peristiwa ini tiba-tiba telepon genggam Arum berdering. Si penelepon rupanya sengaja menyembunyikan identitas nomor telepon pemanggil di HP Arum.
Arum menempelkan HP-nya di telinga, lalu mendengarkan sepotong kalimat ancaman yang tak mungkin dilupakan seumur hidup. “Ini cuma peringatan!” kata penelepon lalu memutuskan hubungan.
Peristiwa itu terjadi tahun 2000. Ketika Arum Sabil dan kawan-kawannya, para petani tebu yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tebu Rak­yat (APTR) PTPN XI, sedang keras-kerasnya melawan serbuan gula impor di pasar kota-kota Jawa Timur. Ketika itu, menurut taksiran kasar 2 juta ton gula impor masuk pasar dengan harga lebih murah dari harga gula petani. Belum termasuk gula selundupan dan gula membonceng (ilegal tetapi ada dokumennya) yang jumlahnya tak diketahui.
Petani tebu yang tertindas bertahun-tahun di bawah sistem glebagan (tanam gilir paksa) baru saja bernapas lega setelah panasnya suhu politik reformasi 1998 membuat pemerintah mencabut sistem Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Politik free trade policy dalam kurun 1998-1999 yang terjadi akibat implementasi Letter of Intent (LoI) Pemerintah RI dengan IMF membebaskan bea masuk impor gula. Gula di pasar luar negeri yang harganya lebih murah, serta-merta membanjiri pasar dalam negeri.
Petani tebu Jawa Timur, dengan produksi gula terbesar (33 pabrik gula atau 70% dari total pabrik se-Indonesia), menjadi korban pertama. Akibatnya, tidak henti-hentinya demonstrasi petani APTR ke berbagai lembaga, di Surabaya dan Jakarta. Tetapi, masa itu politik di Jakarta sendiri sedang diwarnai dengan saling rebut kekuasaan di gedung MPR/DPR. Akhirnya, petani menyadari pemeo lama, “Tidak ada yang bisa diandalkan untuk mendukung kita dalam hidup ini, kecuali diri kita sendiri”. Selanjutnya para petani itu beraksi sendiri.
Beramai-ramai mereka mencegat truk pengangkut gula, melakukan sweeping gula di jalanan. Mereka membongkar sarang penimbunan gula, menyegel gudang-gudang distributor, mencari gula impor di gudang-gudang, lalu membawanya ke kantor polisi. Gula selundupan mudah dibedakan dengan gula petani hasil gilingan pabrik gula lokal. Selain bisa dilihat dari cap yang ada di karung yang beridentitas negara pemasok, seperti “Thailand” atau “Brazil”, gula luar negeri itu lebih putih. Sebab, pabrik gula luar negeri memang lebih berkualitas sehingga hasil gula olahannya lebih bersih, mudah dibedakan dengan gula buatan pabrik gula dalam negeri yang warnanya kuning kusam.
Para aktivis petani waktu itu mengalami cerita-cerita seru, seperti ancaman dengan pistol, dicegat di tengah kebun tebu, bahkan juga dibujuk berunding di Hotel Hilton, Jakarta. Mereka juga diiming-imingi imbalan uang yang seandainya diterima bisa mencapai miliaran rupiah. Mereka ditemui orang-orang yang mengaku “petani” juga yang justru mengaku dirugikan oleh kegiatan APTR.
Mereka minta APTR berhenti “mengganggu” kegiatan para pedagang gula itu. Bahkan, sampai minggu terakhir 2003, ketika diundang tampil untuk wawancara di sebuah stasiun televisi, kewaspadaan membuat Arum memilih memotong pendek rambutnya, lalu mencukur habis kumisnya. “Ini bukan demi gaul. Ini supaya saya mudah menyamar, tidak gampang dibuntuti orang.”
Cerita yang pernah ditulis harian Kompas, Minggu, 27 April 2003 itu patut lebih dulu diungkap karena bisa memberi latar belakang betapa kerasnya tarik-menarik kepentingan dalam gula. Tarikan di satu pihak atau uluran di pihak lawan, bisa langsung berakibat pada masyarakat konsumen atau petani dalam bentuk ketaktersediaan barang atau harga yang melonjak tinggi.
1.1 Latar Belakang Berdirinya APTR
Penandatanganan Letter of Intent (LoI) antara pemerintah Indonesia, yang kala itu ditandatangani Presiden Soeharto dengan IMF (International Monetery Fund), merupakan awal malapetaka besar bagi Industri Gula Nasional (IGN) dan berdampak buruk bagi petani tebu. Atas sejumlah tekanan dan argumentasi yang meyakinkan untuk turut serta mengobati sakit parah perekonomian Indonesia akibat krisis ekonomi dan moneter, IMF memberikan resep pemulihan krisis ekonomi dan moneter yang salah satunya meliberalisasi tata niaga gula yang relatif stabil di bawah kendali Bulog.
Sementara tata niaga gula di pasar internasional, baik di Uni Eropa, Amerika, maupun negara-negara penghasil dan net importer gula masih berstruktur oligopoli dan proteksi yang ketat. Eskpor gula terkonsentrasi pada sedikit negara (negara utama) dan pelaku ekspor gula ditangani oleh 7 (tujuh) perusahaan besar. Oleh karena itu, sebenarnya struktur pasar gula dunia adalah pasar oligopoli, bukan pasar persaingan yang adil (Sawit; 2003).
Maka resep IMF yang diterapkan di Indonesia, meliberalisasi tata niaga gula, tidak lebih merupakan pil pahit dan beracun. Tata niaga gula diliberalisasi tanpa perlindungan (proteksi) sedikitpun pada IGN, di tengah ketatnya proteksi yang diterapkan negara lain, menjadikan IGN memasuki persaingan yang tidak imbang (unfair trade). Jelas bisa diduga bahwa resep IMF tidak lebih sebuah racun untuk menghancurkan IGN dan eksistensi petani tebu nasional.
Salah satu implementasi LoI adalah lahirnya Keppres Nomor 19 Tahun 1998, tertanggal 21 Januari 1998 mengenai perubahan Keppres Nomor 50 Tahun 1995, sebagaimana telah diubah dengan Keppres Nomor 45 Tahun 1997, isinya membatasi wewenang Bulog hanya untuk komoditas beras dan tentu saja tata niaga gula harus diliberalisasi. Selain itu, lahirnya Inpres Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pembubaran Tebu Rakyat Indonesia (TRI). Kebijakan tersebut memiliki implikasi luar biasa mengagetkan petani tebu. Pada waktu itu, petani dihadapkan secara langsung dengan pasar. Dalam kondisi petani belum mengerti apa-apa tentang pemasaran gula, mereka menjadi bulan-bulanan para tengkulak dan pedagang.
Kondisi semakin parah, satu minggu setelah kebijakan tersebut lahir tepatnya pada tanggal 1 Februari 1998, pemerintah berlomba-lomba mengimpor gula, karena harga gula dunia saat itu jauh di bawah harga gula dalam negeri. Kebijakan tersebut berdampak menurunkan harga dalam negeri secara signifikan yaitu menjadi Rp 1.800/Kg.
Hantaman dan tekanan yang diterima petani tebu tidak berhenti sampai di sini, karena pada tahun yang sama dihapuskan subsidi gula. Maka, petani dihajar bertubi-tubi oleh kebijakan pemerintah yang seakan-akan dibuat tanpa pertimbangan. Petani tebu yang rata-rata mempunyai tingkat pendidikan rendah tidak mampu berbuat apa-apa. (Arum Sabil, 2004). Salah satu bentuk liberalisasi itu adalah dengan menekan Bea Masuk (BM) gula impor hanya pada kisaran 20%-35%, dan merupakan BM terendah di seluruh dunia.
1.2 Demonstrasi Solo Arum Sabil: Kenekatan yang Membuka Mata
H.M. Arum Sabil, seorang petani tebu dari pinggiran kota Jember, Kecamatan Tanggul (sebagai salah satu basis konsentrasi petani tebu di bawah PG Semboro), dengan berbekal nekat atau “bondo nekat” (bonek) pada pertengahan tahun 1999, berangkat ke Jakarta. Keberangkatannya tidak hanya mewakili kepentingan pribadi sebagai petani tebu, tetapi mewakili ratapan kawan-kawan para petani tebu yang terus-menerus dihantam kebijakan pemerintah yang tidak mencerminkan perlindungan kepada petani, sehingga keberadaan petani tebu tersudut.
Arum Sabil berangkat ke Jakarta dengan bergumpal tekad mengais keadilan bagi petani tebu. Petani tebu harus dilindungi secara adil oleh pemerintah. Pemerintah harus terbuka matanya bahwa kebijakannya telah mengantarkan anak bangsanya yang bernama petani tebu diambang kematian. Sepengetahuannya, DPR merupakan tempat menyandar bagi rakyat untuk diperjuangkan nasibnya. Maka Jakarta yang dituju adalah gedung DPR.
Namun, sesampainya di pintu gerbang gedung DPR, sebagai orang awam terhadap birokrasi DPR, Arum, petani yang dari desa itu dihadapkan dengan sejumlah kesulitan. Kepada anggota DPR, dia harus bicara bagaimana caranya untuk medapat izin masuk ke gedung DPR. Kebetulan, saat itu ibu kota diwarnai banyak aksi demonstrasi dan gedung DPR dijaga ketat oleh militer berikut tank-tank militernya.
Di tengah puncak kebingungan, akhirnya Arum meminta pertimbangan dan dukungan para tokoh petani tebu di daerahnya, termasuk menelepon tokoh petani tebu dari Semboro Jember, Jawa Timur, untuk membantu mencarikan jalan keluar agar bisa menyampaikan aspirasinya kepada DPR. Arum secara polos menggambarkan kalau gedung DPR telah dijaga tank-tank militer dan moncong senjata tentara pada waktu itu. Kawan-kawannya menyarankan Arum untuk mengurungkan niatnya dan pulang saja.
“Pada saat itu, saya tidak habis mengerti, kita (petani tebu) ini sudah terjepit, kok di tengah kebingungan usaha saya menyampaikan aspirasi ke DPR tidak dikasih support, mungkin kawan-kawan sudah patah arang, frustasi, dan tanpa harapan. Tapi belakangan saya ketahui bahwa saran untuk mengurungkan niat itu ternyata dilatarbelakangi kekhawatiran akan terjadi sesuatu terhadap diri saya”.

Di tengah kebingungan dan kelelahan yang memuncak setelah mondar-mandir di depan gedung DPR, tangan Tuhan tampaknya mulai berbicara. Tuhan mempertemukan Arum dengan tiga anggota LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang juga akan masuk ke gedung DPR. Arum menceritakan niatnya untuk menyampaikan aspirasi petani tebu ke DPR. Tiga anggota LSM itu menaruh simpati dan berjanji akan membantu Arum menyampaikan aspirasinya ke DPR.
Untuk menuntaskan usahanya, Arum bersedia menuruti apa saja saran ketiga anggota LSM tersebut. Termasuk ketika di lehernya digantungi kertas karton yang ditulisi: “Perhatikan & Lindungi Petani Tebu, Stop Impor Gula”. Ketiga anggota LSM itu mempermak Arum Sabil untuk melakukan “Demonstrasi Solo” petani tebu di depan gedung DPR. “Saya mau-mau saja digantungi kertas karton itu. Niat saya hanya satu, petani tebu diperhatikan dan dilindungi,” ungkap Arum mengenang masa-masa itu.
Aksi demonstrasi solo Arum Sabil yang diskenario ketiga anggota LSM itu akhirnya menjadi perhatian banyak orang yang berada di depan pintu gerbang DPR. Pers, LSM, aktivis mahasiswa banyak memberikan dukungan. Pada akhirnya, pihak keamanan memberi izin Arum dengan didampingi ketiga anggota LSM masuk ke gedung DPR. Di gedung DPR, akhirnya ditemui Hamzah Haz, yang saat itu menjadi wakil ketua DPR RI. ”Saya sudah lupa dan tidak tahu sekarang ada di mana tiga orang anggota LSM itu, mereka sangat berjasa pada petani tebu,” tuturnya.
Blessing in dis guise, anugerah Tuhan Yang Maha Esa, di mana aksi “demonstrasi solo Arum Sabil ” menjadi tonggak perjuangan petani tebu untuk waktu-waktu berikutnya, yang salah satunya diperkuat peran pers. Aksi “demonstrasi solo Arum Sabil” bertepatan dengan ledakan media dan kemerdekaan pers yang memperoleh tempat di negeri ini. Termasuk banyaknya stasiun TV swasta bermunculan. Peristiwa nekat Arum di gedung DPR banyak diliput kalangan pers dan diberitakan secara meluas. Khususnya diberitakan dalam berita Nusantara TVRI, yang acaranya diselenggarakan pukul 19.00 WIB, yang saat itu peraturan pemberitaan mengharuskan setiap stasiun TV swasta me-relay berita yang disiarkan TVRI yang tentu saja dilihat masyarakat pertebuan dan pergulaan Indonesia. Dari situlah Arum mulai dikenal kalangan pemerintah, LSM, aktivis, pejabat PTPN, pabrik gula dan petani tebu, sebagai pejuang petani tebu. Langkah nekatnya dengan demonstrasi solo telah membuka mata masyarakat pergulaan dan petani tebu tentang perlunya keberanian seperti yang dilakukan Arum, untuk bisa memperoleh perlakuan secara adil. Arum bukan hanya telah membuka kesadaran perlunya keberanian berjuang, nama Arum pun mulai banyak dikenal sebagai pejuang petani tebu.
Gambar 1.1
1.3 Berjuang Tidak Bisa Sendiri: Terpilih Sebagai Ketua APTR
Setelah aksi “demonstrasi solo” itu, Arum berusaha menghubungi berbagai pihak yang diyakini mampu secara bersama-sama melanjutkan perjuangan petani tebu. Arum sadar betul bahwa perjuangan petani tebu tidak bisa dilakukan sendirian. Petani tebu harus terorganisasi agar memiliki bargaining dan suaranya tidak dipinggirkan. Bahwa perjuangan petani tebu tidak cukup dilakukan dalam skala lokal dan pada tingkat PG (Pabrik Gula). Maka wadah perjuangan petani tebu yang sudah ada pada masing-masing PG dalam bentuk PPTR (Paguyuban Petani Tebu Rakyat) dirasakannya tidak cukup. Arum memandang perlu wadah perjuangan yang bisa berbicara dalam skala yang lebih luas. Oleh karena itu, sepulang dari demonstrasi solo, Arum menggagas pembentukan Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR) bagi para petani tebu yang ada di bawah naungan PG di wilayah kerja PTPN XI. Gayung pun bersambut, para petani tebu menyambut baik rencana itu dan akhirnya diselenggarakan musyawarah pembentukan APTR pada pertengahan tahun 1999 di PG Semboro Jember Jawa Timur. Musyawarah itu dikuti seluruh PPTR atau APTR unit se-Wilayah Kerja (Wilker) PTPN XI. Pada saat itu, Arum terpilih sebagai ketua APTR Wilker PTPN XI.
“Anugerah demonstrasi solo itu menjadikan saya dikenal banyak pihak. Sehingga pada saat pencalonan ketua APTR PTPN XI yang mestinya masing-masing PPTR/ APTR unit mengusulkan satu calon, untuk PPTR Semboro diberi kesempatan mengusulkan dua calon. Pada saat itu, saya ikut dicalonkan. Padahal, saya hanya pembantu umum di PPTR PG Semboro. Tanpa diduga, saya yang justru dipilih menjadi ketua APTR Wilker PPTN XI” .
1.4 Mandiri dengan APTRI
Dalam upaya penguatan kelembagaan petani tebu, pada tahun 2000, petani tebu menyelenggarakan Musyawarah Nasional Petani Tebu Indonesia yang digelar di Asrama Haji Donohudan Surakarta. Munas tersebut dihadiri dan dibuka Presiden RI KH Abdurahman Wahid. Musyawarah sempat dibuat “geger” ketika Arum menginterupsi Presiden KH Abdurahman Wahid pada saat berpidato. Gara-garanya, Presiden KH Abdurahman Wahid dalam salah satu isi pidatonya mengimbau petani untuk tidak fanatik menanam tebu yang kondisinya terus merugi. Presiden mencontohkan budidaya komoditas bambu yang pangsa pasarnya masih terbuka lebar di Cina. Presiden waktu itu menjelaskan bila dua miliar orang Cina itu makan pakai sumpit, kenapa kita tidak berpikir mengekspor bambu untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Sontak Arum berdiri dan angkat tangan sambil teriak: “Interupsi Bapak Presiden, kami sangat kecewa. Kami petani tebu sudah sangat terpuruk, kenapa justru tidak memberi semangat kepada kami?. Sebenarnya saat itu Arum sangat menghormati Gus Dur. “Tapi mungkin saya sudah panik, datang ke munas dengan harapan menemui solusi bagi petani tebu, malah disuruh tanam bambu”.
Arum juga tidak mengerti, kenapa waktu itu ia senekat itu. Munas akhirnya menghasilkan terbentuknya Badan Koordinasi Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (BK-APTRI). Namun, APTR wilayah PTPN XI yang dipimpin Arum tidak mau bergabung dalam organisasi ini dan melakukan walk out. Pada saat itu, Arum menilai BK-APTRI tidak aspiratif, cenderung mengarah pada polarisasi dan tidak independen, karena keberadaannya atas bentukan pemerintah. Menurut Arum, badan itu tidak berhak menyebut dirinya sebagai wadah bagi petani tebu nasional. Sebab, dalam organisasi tebu, PTPN XI Jatim sebagai pemilik PG terbanyak, yakni memiliki 17 buah, tidak ikut serta dalam organisasi ini. Arum menilai BK-APTRI merupakan reinkarnasi DPP-APTRI di mana usulan tersebut mendapat tantangan keras dari APTR Jatim. APTR merasa khawatir DPP APTRI akan dijadikan kendaraan politik atau bargaining position (posisi tawar) bagi suatu kelompok untuk memproleh fasilitas tertentu. Bahkan, penolakan pembentukan kepengurusan DPP APTRI ini sudah diutarakan sebelum munas.
Dalam kongres APTR se-Wilker PTPN XI, Arum berharap dibentuknya Forum Komunikasi APTR yang ketua umumnya dapat dipilih secara bergantian dari para ketua umum APTR di tingkat perusahaan gula yang ada (sistem kolegial). Sedangkan untuk kegiatan operasional sehari-hari (day to day operation) dapat dibentuk kesekretariatan. Bukan sentralistik seperti struktur BK-APTRI yang dibentuk pada saat itu.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, APTR Wilker XI Jawa Timur juga menolak keinginan Menteri Kehutanan dan Perkebunan (Menhutbun) Dr. Ir. Nur Mahmudi Ismail soal pembentukan Dewan Gula Nasional (DGN). Ini karena komposisi dalam DGN tersebut, petani tebu yang berasal dari Jateng/DIY, Jawa Timur, Jawa Barat, dan luar Jawa hanya terwakili satu orang.
APTR menilai hal itu tidak proporsional. Dengan demikian tidak lagi mencerminkan kontribusi daerah. Padahal tanaman tebu bukan komoditas nasional, akan tetapi komoditas regional di mana Jawa Timur merupakan pemasok paling besar.
Arum menilai masing-masing daerah tingkat sumbangannya bagi pengadaan gula nasional tidak sama. Bahkan, antara daerah yang satu dengan lainnya, perbandingan sumbangan pengadaan gula terpaut jauh. Jawa Timur, misalnya.
Sebagai daerah yang memiliki kontribusi paling besar dalam pengadaan gula nasional berhak mengirimkan wakilnya di DGN lebih dari satu orang, mengingat kontribusi Jawa Timur dalam pengadaan gula nasional mencapai lebih dari 50%. Waktu itu, Arum mengusulkan perlu ada dua wakil untuk Jawa Timur. Sedangkan untuk daerah di luar Jawa Timur dan luar Jawa tidak masalah ada satu wakil.
Dinamika-dinamika petani tebu dalam rangka penguatan kelembagaan atau pengorganisasian petani tebu tersebut akhirnya dicapai jalan tengah, di mana BK-APTRI juga tetap eksis. Sedangkan PPTR/APTR di Wilayah Kerja PTPN XI eksis dengan APTR (Assosiasi Petani Tebu Rakyat) PTPN XI.
“Ini jalan tengah yang terbaik. BK-APTRI dan APTR sama-sama berjalan memperjuangkan nasib petani tebu. Pak Wachid (ketua umum BK-APTRI) itu sahabat dan mitra Saya dalam memperjuangkan petani tebu. Justru yang harus kita hindari adalah masuknya pihak ketiga untuk memecah belah petani tebu dan akhirnya petani tebu itu sendiri yang rugi. Dengan memperlebar konflik masalah kelembagaan petani tebu ini, bisa-bisa akan memancing masuknya pihak ketiga dan merusak petani. Berjalan beriringan merupakan kompromi terbaik”.

Semakin hari peran APTR di Wilayah Kerja PTPN XI, semakin nyata. Tidak hanya dalam melakukan kontrol masuknya gula impor ilegal, namun juga dalam usahanya melakukan stabilisasi harga gula petani. Arum mempelopori jalinan kerjasama dengan investor melalui sistem dana talangan dengan konsep harga dasar mengambang. Akhirnya pada tahun 2000 disepakati jalinan kerjasama dengan PT AGS di mana harga gula petani dijamin di atas harga Rp 3.125/kg. Langkah itu merupakan terobosan, mengingat pada tahun 2000 pemerintah tidak lagi memberi provenue (jaminan harga dasar) dan petani harus menjual sendiri gula yang diproduksinya.
Perjuangan Arum untuk mewujudkan konsep dana talangan itu tidak mudah. Melalui sebuah adu konsep yang diselenggarakan di Hotel Elmi Surabaya pada tahun 2000, konsep dana talangan ditolak oleh APTR PTPN X maupun BK-APTRI, serta para pengusaha gula dan kalangan anggota DPR yang hadir pada saat itu. Justru banyak pihak menuduh Arum tidak membela kepentingan petani ketika terus berupaya menerapkan dana talangan. Menteri Bungaran Saragih yang hadir pada kesempatan itu memberi jalan tengah. Dia menggambarkan bahwa petani tebu ibarat burung baru keluar dari sangkar, dalam alam bebas banyak pemangsa ganas yang setiap saat mengincarnya. Maka, kedua konsep baik dana talangan yang digagas Arum maupun yang menolak sama-sama diberi kesempatan untuk diuji di lapangan. APTR PTPN XI diberikan kesempatan untuk menggunakan konsep dana talangan, sedangkan petani tebu yang lain tidak menggunakannya. Ternyata dalam satu bulan berikutnya, harga gula dunia jatuh dan petani dalam negeri pun terkena imbas dengan merosotnya harga gula itu. Sedangkan para petani di lingkungan PTPN XI tetap masih bisa menikmati harga gula Rp 3.125/kg, karena menggunakan dana talangan. Di situlah kepiawaian Arum mulai memperoleh pengakuan.
Selain dana talangan, Arum juga melakukan terobosan dalam melakukan perbaikan bagi hasil tetes dan bagi hasil gula. Pabrik gula akhirnya memberikan peningkatan porsi bagi hasil tetes dan gula kepada petani. Usaha lain yang berdampak besar adalah kontribusinya dalam mendorong lahirnya SK Nomor 643 Tahun 2002. SK tersebut oleh beberapa kalangan dinilai memberi perlindungan kepada petani dan kepentingan negara. Dengan diterbitkannya SK tersebut harga gula petani meningkat, pemasukan negara melalui bea masuk menjadi naik, dan para penyelundup semakin mudah diidentifikasi. Pemerintah juga lebih peduli terhadap petani tebu yang ditampakkan dengan adanya pencanangan program restrukturisasi IGN.
Serangkaian keberhasilam APTR di Wilker PTPN XI itu mendorong sejumlah PPTR dan APTR unit di Jawa Timur untuk membentuk APTRI (Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia). Maka, pada tanggal 11 Maret 2003 dibentuklah APTRI yang diharapkan menjadi wadah perjuangan petani tebu dalam skala nasional. PPTR-APTR unit mengharap kepiawaian Arum dalam memimpin perjuangan petani tebu agar memperluas jangkauan arena perjuangannya. Maka PPTR- APTR unit itu mendaulat Arum sebagai ketua umum APTRI.
Kiprah Arum dalam perumusan kebijakan pergulaan juga mendapat respon, di mana struktur DGI (Dewan Gula Indonesia) dilakukan perombakan. Dalam struktur yang baru, petani memperoleh dua orang wakil, masing-masing Arum dari APTRI dan Abdul Wachid dari BK-APTRI duduk sebagai angota Dewan Gula Indonesia (DGI). Pada saat ini, petani memiliki wakil dalam turut serta merumuskan kebijakan pergulaan.

***